UntukPacarku - Karya Seno Gumira Ajidarma Sepotong senja untuk pacarku. Musikalisasi | Wmusic. 9:16 Sepotong Senja Untuk Pacarku • Seno Gumira Ajidarma oleh Abimana Afandy Nadhiful Fikri_Pembacaan Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku Belajar Dari Bintang (KBM) - Seno Gumira Ajidarma Evan Loss Full Album Terbaru
50% found this document useful 2 votes4K views63 pagesDescriptionxCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsPDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?50% found this document useful 2 votes4K views63 pages9 Cerpen Seno - Seno Gumira AjidarmaJump to Page You are on page 1of 63 You're Reading a Free Preview Pages 7 to 12 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 16 to 19 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 23 to 25 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 29 to 48 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 56 to 62 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
SenoGumira Ajidarma. Ia sangat cantik, begitu cantik, bagaikan tiada lagi yang lebih cantik, sedemikian rupa cantiknya sehingga bukan saja kecantikan wajahnya membuat udara bergelombang, tetapi bahkan siapa saja yang memandangnya lantas akan jatuh pingsan. Gubrak! Mula-mula kecantikannya memang hanya membuat orang-orang terpesona dan ternganga.
Seno Gumira Ajidarma menggunakan nama samaran Mira Sato pada awal karirnya lahir pada tanggal 19 Juni 1958 di Boston, Amerika Serikat. Seno Gumira Ajidarma dikelompokkan sebagai Sastrawan Angkatan kami sudah merangkum beberapa Puisi karya Seno Gumira Ajidarma untuk anda. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa. Kumpulan Puisi karya Seno Gumira Ajidarma
Novelkumpulan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma, antara lain: Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999). Pandangan Dunia Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan cerpen saksi mata kajian strukturalisme genetikPandangan Dunia Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan cerpen saksi mata kajian strukturalisme genetikThis research uses objective and mimetic approaches to analyze the structure of literary works. This study uses Goldmann's Genetic Structuralism theory to find the author's worldview in literary works. The methods and data collection techniques in this study use the literature study method. Data analysis method used is the hermeneutic method. The method used in presenting the results of data analysis is a qualitative descriptive method, in which the researcher describes the author's worldview contained in the Eyewitness Story Collection. CerpenKarya Seno Gumira Ajidarma Sepotong Senja Untuk Pacarku. Seno gumira ajidarma adalah nama jaminan dalam hal urusan membuat cerita pendek. Aaaaaa sepotong senja untuk pacarku alina tercinta, bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. PEMBACAAN CERPEN 4 Sepotong Senja untuk Pacarku (Seno from kamu arsip cerita pendek kompas minggu Posts Tagged Seno Gumira Ajidarma’ Mayat Yang Mengambang Di Danau Barnabas mulai menyelam tepat ketika langit bersemu keungu-unguan, saat angin dingin menyapu permukaan danau sehingga air berdesis pelan, sangat amat pelan, nyaris seperti berbisik, menyampaikan segenap rahasia yang bagai tidak akan pernah terungkapkan. Memang hanya langit, hanya langit itulah yang ditunggu-tunggu Barnabas, karena apabila kemudian ia menyelam di dekat batang-batang pohon ke bawah permukaan danau untuk menombak ikan, secercah cahaya pun cukuplah untuk melihat segala sesuatu yang bergerak, hanya bergerak, tiada lain selain bergerak, ketika hanya dengan sudut matanya pun ia tahu mana bukan ikan gabus mana bukan ikan merah. Ya, tangannya hanya akan bergerak menombak secepat kilat bagaikan tak menunggu perintah otak, apabila kedua jenis ikan itu lewat meski melesat, berombongan maupun terpisah dan tersesat, yang mana pun takkan lepas dari sambaran tombaknya yang sebat. Baca entri selengkapnya » Karangan Bunga dari Menteri Belum pernah Siti begitu empet seperti hari ini. ”Pokoknya gue empet ngerti nggak? Empeeeeeeet banget!” ”Kenape emang?” Tanya Ira, sohibnya. ”Empeeeeeeeeeetttt banget!!” Ah elu! Empat-empet-empat-empet aje dari tadi! Empet kenape Sit?” Di tengah pesta nikah putrinya, di gedung pertemuan termewah di Jakarta, Siti merasa perutnya mual. Tadi pun belum-belum ia sudah tampak seperti mau muntah di wastafel. Baca entri selengkapnya » Pring Re-ke-teg Gunung Gamping Ambrol Ribuan orang baik-baik telah berkumpul di atas bukit, siap menyerbu perkampungan para pencuri, perampok, pembunuh, dan pelacur, yang terletak di tepi sebuah sungai yang mengalir dan berkelok dengan tenang, begitu tenang, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih tenang, yang memantulkan cahaya kemerah-merahan membara di langit meskipun matahari sudah terbenam. Ribuan, barangkali lebih dari sepuluh ribu, sebut saja beribu-ribu orang baik-baik telah siap dengan segenap senjata tajam, parang-golok-kelewang, tombak, linggis, pentungan besi, rantai, alu, kayu, maupun badik yang lekuk liku dan geriginya jelas dibuat agar ketika ditusukkan mampu menembus perut dengan mulus, dan ketika ditarik keluar membawa serta seluruh isi perut itu tanpa dapat dibatalkan. Baca entri selengkapnya » Dodolitdodolitdodolibret Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng. “Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya. Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar. ”Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?” Baca entri selengkapnya » Ibu yang Anaknya Diculik Itu Ibu terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi, telepon, perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti dulu—tetapi waktu telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu. Telepon berdering. Ibu tersentak bangun dan langsung menyambar telepon. Diangkatnya ke telinga. Ternyata yang berbunyi telepon genggam. Ketika disambarnya pula, deringnya sudah berhenti. Ibu bergumam. ”Hmmh. Ibu Saleha, ibunya Saras yang dulu jadi pacar Satria. Sekarang apapun yang terjadi dengan Saras dibicarakannya sama aku, seperti Saras itu punya dua ibu. Dulu almarhum Bapak suka sinis sama Ibu Saleha, karena seperti memberi tanda kalau Saras itu tentunya tidak bisa terus menerus menunggu Satria. ’Orang hilang diculik kok tidak mendapat simpati,’ kata Bapak. Kenyataannya selama sepuluh tahun Saras tidak pernah bisa pacaran sama siapapun. ’Saya selalu teringat Satria, Ibu, saya tidak bisa’,” katanya. Baca entri selengkapnya » Cinta di Atas Perahu Cadik Bersama dengan datangnya pagi maka air laut di tepi pantai itu segera menjadi hijau. Hayati yang biasa memikul air sejak subuh, sambil menuruni tebing bisa melihat bebatuan di dasar pantai yang tampak kabur di bawah permukaan air laut yang hijau itu. Cahaya keemasan matahari pagi menyapu pantai, membuat pasir yang basah berkilat keemasan setiap kali lidah ombak kembali surut ke laut. Onggokan batu karang yang kadang-kadang menyerupai perahu tetap teronggok sejak semalam, sejak bertahun, sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Bukankah memang perlu waktu jutaan tahun bagi angin untuk membentuk dinding karang menjadi onggokan batu yang mirip dengan sebuah perahu. Para nelayan memang hanya tahu perahu. Bulan sabit mereka hubungkan dengan perahu, gugusan bintang mereka hubung-hubungkan dengan cadik penyeimbang perahu, seolah-olah angkasa raya adalah ruang pelayaran bagi perahu-perahu seperti yang mereka miliki, bahkan atap rumah-rumah mereka dibuat seperti ujung-ujung perahu. Tentu, bagaimana mungkin kehidupan para nelayan dilepaskan dari perahu? Hayati masih terus menuruni tebing setengah berlari dengan pikulan air pada bahunya. Kakinya yang telanjang bagaikan mempunyai alat perekat, melangkah di atas batu-batu hitam berlumut tanpa pernah terpeleset sama sekali, sekaligus bagaikan terlapis karet atau plastik alas sepatu karena seolah tidak berasa sedikit pun juga ketika menapak di atas batu-batu karang yang tajam tiada berperi. Baca entri selengkapnya » Gerobak Kira-kira sepuluh hari sebelum Lebaran tiba, gerobak-gerobak berwarna putih itu akan muncul di berbagai sudut kota kami, seperti selalu terjadi dalam bulan puasa tahun-tahun belakangan ini. Gerobak itu tidak ada bedanya dengan gerobak pemulung, atau bahkan gerobak sampah lainnya, dengan roda karet dan pegangan kayu untuk dihela kedua lengan di depan. Hanya saja gerobak ini ternyata berisi manusia. Dari balik dinding gerobak berwarna putih itu akan tampak sejumlah kepala yang menumpang gerobak tersebut, biasanya seorang ibu dengan dua atau tiga anak yang masih kecil, dengan seorang bapak bertenaga kuat yang menjadi penghela gerobak tersebut. Karena tidak pernah betul-betul mengamati, aku hanya melihat gerobak-gerobak itu selintas pintas, ketika sedang berjalan merayapi berbagai sudut kota. Dari mana dan mau ke mana? Aku tidak pernah berada di batas kota dan melihat gerobak-gerobak itu masuk kota. Mereka seperti tiba-tiba saja sudah berada di dalam kota, kadang terlihat berhenti di berbagai tanah lapang, memasang tenda plastik, menggelar tikar, dan tidur-tiduran dengan santai. Tidak ketinggalan menanak air dengan kayu bakar dan masak seperlunya. Apabila tanah lapang sudah penuh, mereka menginap di kaki lima, dengan plastik menutup gerobak dan mereka tidur di dalamnya. Tidak jarang mereka memasang juga tenda di depan rumah-rumah gedung bertingkat. Salah satu dari gerobak itu berhenti pula di depan rumah gedung kakekku. “Kakek, siapakah orang-orang yang datang dengan gerobak itu Kek? Dari manakah mereka datang?” Baca entri selengkapnya » Rembulan dalam Cappuccino Seminggu setelah perceraiannya, perempuan itu memasuki sebuah kafe, dan memesan Rembulan dalam Cappuccino. Ia datang bersama senja, dan ia harus menunggu malam tiba untuk mendapatkan pesanannya. Cappuccino¹ dalam lautan berwarna coklat, datang langsung dari tercemplung cangkir, tenggelam sebentar, tapi lantas pingpong-tapi bukan bola pingpong, ini rembulan. Semua orang berada dalam kafe diam-diam melangkah keluar, menengok ke langit, ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa terapung-apung cangkir perempuan sebenarnya, seperti telah pelajari semenjak di sekolah dasar, yakni yang tiada pernah mereka saksikan sisi gelapnya, dan rembulan itu memang sudah tidak ada. Baca entri selengkapnya » Cintaku Jauh di Komodo* Hanya laut. Hanya kekosongan. Dunia hanyalah laut dan langit yang dibatasi garis tipis melingkar, membentuk garis lingkaran yang tiada pernah berubah jaraknya, meski perahuku melaju menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam, tapi kutahu cintaku belum akan berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat hanya karena sebuah jarak dari Labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berkarat setelah mengarungi berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi pula bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang bukan besi? Aku dan kekasihku diciptakan dari sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya sudah mati, dan semenjak saat itu kami menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang bisa memutuskan hubungan cinta kami. Barangkali itulah yang disebut dengan cinta abadi. Baca entri selengkapnya » kumpulancerpen 1) manusia kamar (1988) kemudian dicetak ulang dengan judul yang berbeda matinya seorang penari telanjang (2000), 2) penembak misterius (), 3) saksi mata (1994), 4) dilarang menyanyi di kamar mandi (1995), 5) sebuah pertanyaan untuk cinta (1996), 6) negeri kabut (1996), 7) atas nama malam (1999), (8) iblis tak pernah
sastrawanseperti Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, dan Sutardji Calzoum Bachri. Salah satu ciri karyanya adalah temanya dunia perempuan dan seksualitas. Karya pertamanya adalah cerpen "Lintah" (2002) yang bertema feminisme dan dimuat di Kompas. Buku pertama Nai berupa kumpulan cerpen Cerpen romantik kahwin paksa Cerpen cinta kahwin paksa
DilarangMenyanyi di Kamar Mandi merupakan kumpulan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Subentra Citra Pustaka, Jakarta, tahun 1995. Tebal kumpulan cerpen ini 132 halaman. Ilustrasi kulit luar buku ialah siluet seorang wanita yang sedang mandi dengan bibir perempuan yang merah dan merekah. Berdarahkarya Seno Gumira Ajidarma yang berhubungan dengan pergaulan siswa di SMA, 2) Mendeskripsikan cara-cara untuk mengungkapkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam kumpulan cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah karya Seno Gumira Ajidarma oleh penulis, 3) Mengetahui kelayakan kumpulan HGVmY7.
  • n7ak3205up.pages.dev/86
  • n7ak3205up.pages.dev/78
  • n7ak3205up.pages.dev/297
  • n7ak3205up.pages.dev/406
  • n7ak3205up.pages.dev/169
  • n7ak3205up.pages.dev/230
  • n7ak3205up.pages.dev/55
  • n7ak3205up.pages.dev/79
  • kumpulan cerpen karya seno gumira ajidarma